Kamis, 01 Mei 2014

Ksatria Kecil

Assalamualaikum wr. wb.
Sobahul khair, kaifa halik?


Tanpa terasa kita sudah sampai di bulan Rajab, yang artinya kurang dari 2 bulan lagi kita memasuki bulan suci Ramadhan. Bulan yang dinanti-nantikan oleh kaum muslim.  Bulan dimana semua berlomba untuk beribadah, alangkah indahnya. Tapi aku tidak akan membicarakan tentang itu dulu. Aku hanya ingin bercerita tentang  "Ksatria Kecil" yang ku temui kemarin sore.

Sore itu dikantor, kami semua masih terjebak dengan rutinitas keduniaan. Masing-masing menghadap ke layar komputer, entah apa yang dikerjakan seolah tidak selesai-selesai. Sesekali teman menghampiriku didepan hanya untuk sekedar ngobrol melepas kejenuhan. Sebenarnya yang dibicarakan pun hal yang itu-itu saja, mungkin aku sudah hapal. Dengan sedikit menaruh berbagai macam cemilan dimeja, kami ngobrol. Tak lama satu dua orang yang lainnya mendekat, bergabung. Kami larut dalam pembahasan yang luar biasa beraneka ragam, dari mulai pekerjaan sampai masalah pribadi yang "itu-itu lagi". Tapi entah kenapa obrolan itu masih terasa asyik saja.

Tiba-tiba, seolah tidak disadari kedatangannya ada anak laki-laki mungkin usianya sekitar tujuh atau delapan tahun masuk ke dalam ruang tunggu nasabah. Dia lalu menghampiri kami, karena badannya kecil sekuat tenaga memajangkan lehernya melewati bilik kaca seraya berkata dengan bahasa lokalnya yang begitu kental, " Pian handak nukar abon haruan kah?" Oh ternyata anak ini menawarkan dagangannya, abon ikan gabus. Seorang teman sontak menggerakkan lima jari kanannya ke kiri-kanan, yang artinya tidak. Anak itupun berlalu dari hadapan. Aku seperti terhipnotis, tidak sadar kalau yang menawarkan tadi itu seorang anak kecil. Aku baru menyadari ketika dia sudah sampai pintu keluar. Spontan akupun berteriak memanggil, " Eeeiiii... siniiiiiii.....". Teman-teman saya terkejut, semua menoleh padaku. Bukankah tadi salah seorang dari mereka sudah menolaknya. Aku tidak tega, batinku.

Dengan kelembutan dan penuh iba ku tanyakan padanya, "Apa dibawa? berapaan?" Dengan sopan dia pun menjawab lugas semua pertanyaanku, dan sedikit-sedikit menjelaskan kalau ada macam-macam rasa. Tanpa  pikir panjang kuraih dompet lusuhku yang tak jauh dari jangkauan. Kukeluarkan beberapa lembar uang lima ribuan. Harga abon itu Rp.8.000,- per bungkus. Seperti wartawan yang penasaran, ku lontarkan sederet pertanyaan, yang kemudian dijawab dengan kepolosannya. "Dua ding lah, yang pedas lawan gurih", kataku. Segera dia mengambil, dan menyerahkannya padaku. Ku barter dengan beberapa lembar uang ditanganku. "Kada usah diangsuli, gasan ikam aja biar aja", kataku. Yang artinya kembaliannya buat kamu saja :) Dia tersenyum kecil padaku, seraya mengucap " Nah makasih banar ulun". Dan dia pun kembali berlalu dari hadapan kami.

Aku benar-benar terenyuh melihatnya, seolah video masa lalu masa kecilku diputar lagi. Flashback masa kecilku yang menyenangkan, dan mungkin jauh lebih beruntung dari anak tadi. Mungkin orang tuaku tidak selalu bisa memberikan apa yang kuminta tapi setidaknya aku tidak harus ikut bekerja keras, panas-panasan, bergelut dengan matahari untuk mencari nafkah buat keluarga. Bahkan mungkin untung dari hasil penjualan itupun tidak terlalu banyak. Air mata ibaku hampir saja menetes, tapi kutahan. Anak sekecil itu tidak seharusnya ikut memikirkan kehidupan keluarga, tapi karena keadaan dia terpaksa ikut andil. Harusnya dia bisa menikmati masa kecilnya, bermain dengan teman-teman. Tapi diusianya ini justru terlihat wajah kedewasaan yang dipaksa. Gurat-gurat kehidupan yang keras terpancar di wajahnya.

Pernahkah kita berpikir, sedikit saja. Kadang kita lebih suka menghambur-hamburkan uang begitu mudahnya. Beratus-ratus ribu atau bahkan jutaan bisa kita keluarkan untuk hal yang yaaahhhh bisa saja tidak kita perlukan sebenarnya. Begitu tidak menghargainya kita. Padahal jauh diluar sana, ada banyak anak-anak seperti dia yang untuk mendapatkan beberapa ribu saja sulit sekali. Bisakah kita sedikit berempati? Mungkin kita tidak bisa banyak membantu tapi paling tidak kita bisa ubah pola hidup kita yang sia-sia. Berkaca pada hal-hal seperti ini. Lebih mensyukuri betapa begitu banyak nikmat yang sudah Allah karuniakan. Tapi nyatanya, sampai hari ini pun kita masih saja terbata mengeja semua nikmatNya. Pernahkah aku dan kalian memikirkan hal-hal seperti ini? Cobalah renungkan sedikit

Tulisan ini kudedikasikan untuk anak tadi, yang namanya pun bahkan aku tidak tahu. Karenanya aku namakan dia "Ksatria Kecil". Semoga besar nanti kamu jadi anak yang sukses nak, membanggakan orang tuamu. Aamiin

Semoga tulisan ini sedikit bisa mengetuk hati siapa saja yang membaca. Lalu lebih berempati dan bersimpati terhadap mereka.



Wassalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar